Rabu, 22 Juni 2016

Sejarah Pemugaran Makam Karomah Syeh Maulana Nurul Duhur.

Makam Sohibul Karomah Syeh Maulana Nurul Duhur Waliyullah ( Mbah Duhur ) dipugar pada tahun 2015,walaupun demikian sebenarnya sudah sekitar 10 tahun sebelumnya makam Mbah Duhur sudah di rawat oleh masyarakat setempat sebagai tempat yang dikeramatkan.
Sebelum dirawat dulunya adalah sebuah tempat makam yang sangat rimbun tak terurus,sio dan sangat angker,tidak setiap orang berani menginjakkan kakinya ditempat tersebut,hanya orang-orang bernyali tinggi yang mau masuk ke wilayah makam tersebut sehingga areal makam tersebut tidak begitu diutamakan oleh masyarakat setempat bahkan dirawat atau di bersihkan pun tidak,masyarakat lebih memilih memakamkan ahlinya ditempat pemakaman yang lain dari pada di tempat pemakaman tersebut dan hanya orang-orang tertentu saja yang mau memakamkan keluarganya di tempat yang sekarang sudah menjadi Obyek Wisata Religi atau tempat berziarah Wali Kebumen bagi Umat Muslim di Kebumen maupun luar Kebumen juga sudah banyak yang berziarah ke Makam Waliyullah Syeh Maulana Nurul Duhur ( Mbah Duhur ) tersebut.
Awal mula diketahuinya di tempat makam itu merupakan makam leluhur yang mulia,seorang sohibul karomah Syeh Maulana Nurul Duhur ( Mbah Duhur ) adalah ceriteranya sebagai berikut :
Pada tahun 2004/2005 Warga RT.01-02 RW-IV Desa Entak,Ambal,Kebumen berinisiatif membangun sebuah tempat ibadah berupa Masjid diatas Tanah Wakaf dari seorang warga bernama Bapak Panut berdiri atasnama Pamanya ( Mbah Sukimin ) yang sudah wafat menggalkan harta bendanya yang kemudian oleh anak satu-satunya Mbah Sukimin bernama Slamet yang tinggal dikalimantan kemudian menyerahkan penguasaan sebagihan harta Peninggalanya  kepada Bapak Panut ( Anak Keponakan Mbah Sukimin ) yang sudah mengurusi semasa hidupnya,sakit hingga wafatnya Mbah Sukimin bersama istrinya.
Dan sebagihan yang lain lagi agar di Wakafkan sebagai amal jariah bagi Mbah Sukimin bersama Istrinya yang sudah wafat.
Amanah Bapak Slamat di Kalimantan ( Putra satu-satunya Mbah Sukimin ) tersebut disambut hangat oleh Bapak Panut yang ternyata Bapak Panut tidak berharap seberapapun dari harta Peninggalan Mbah Sukimin wazauzatihi hingga kemudian oleh bapak Panut bukanya hanya sebagihan saja yang di Wakafkan tapi semua harta tinggalanya Mbah Sukimin Alm,mulai dari tanah persawahan maupun tanah pekarangan berikut isinya diwakafkan semu sebagai amal jariah bagi Mbah Sukimin sekalian dan ahirnya jadilah sebuah tempat ibadah berupa Masjid yang diberinama Nurul Hidayah.
Hubunganya antara Masjid Nurul Hidayah tersebut dengan Syeh Maulana Nurul Duhur adalah demikian :
Pada waktu pembuatan Masjid tersebut menggunakan bahan bangunannya yang berupa kayu itu memanfaatkan kayu saman raksasa ( besar ) yang tumbuh di atas Makam Mbah Duhur yang mana pohon saman tersebut entah sudah ada sejak kapan,karena orang tua pada saat itu tidak ada yang mengetahui awal pertumbuahan pohon saman tersebut,yang pada waktu itu terkenal angker ( gawat ) dan keberanian masyarakat muncul ketika mau dimanfaatkan untuk membangun masjid,ahirnya pohon samanpun ditebang.
Ada kejadian yang tidak biasa pada saat penebangan pohon saman tersebut yaitu Tukang tebang dan masyarakat menyaksikan sediri bahwa pada saat itu waktu menunjukan sudah masuk waktu sholat Duhur ( kira-kira jam 12 siang ) kayu saman di tebang potong menggunakan mesin sinso dan ditarik oleh banyak orang tidak mau roboh/tumbang, padahal hanya tinggal beberapa centimeter saja ( hampir putus ) pohon saman yang sudah tertebak/dipotong siku ( lumrahnya pohon pasti sudah tumbang ) ahirnya tukang tebang dan masyarakat menyerah untuk istirahat dan sholat duhur dulu.
Nah kira - jam 2 siang tukang tebang bersama masyarakat datang kembali ketempat kayu saman untuk kembali menumbangkan dan apa yang terjadi adalah : kalau tadi sebelum pada istirahat pohon saman ditarik banyak orang tidak roboh tapi saat kembali ditarik untuk yang ke 2 X nya hanya oleh beberapa orang ( jauh lebih sedikit dari jumlah penarik pohon saman pada saat sebelum istirahat ) tanpa melalui proses yang lama dan sulit ( tanpa dipotong lagi ) ahirnya Pohon saman pun tumbang.

Berikutnya Kayu Saman langsung di proses untuk membuat bahan bangunan untuk Masjid.
Tanpa proses yang lama juga ahirnya Masjid Berdiri dan diberi nama Masjid Nurul Hidayah.
Paska penebangan Kayu Saman ( menjelang berdirinya Masjid Nurul Hidayah pada tahun 2005 hingga tahun 2007 banyak terjadi geganjilan di masyarakat.Ada beberapa orang dari masyarakat yang merasa didatangi oleh orang asing yang memakai pakaian ihram baik melalui mimpi maupun dalam keadaan bersadarkan diri yang dimana intinya memberikan informasi bahwa masyarakat harus bertanggungjawab atas penebangan kayu saman yang sudah dilakukan bersama yang di pimpin oleh Bapak Kaum Jumadi.

Bapak Kaum Jumadi adalah seorang Ulama Desa,seorang Kiyai Kampung,seorang pemimpin umat yang baik,ramah,sederhana dan  sangat disegani oleh umat masyarakat setempat.
Beliau Bapak Ky Jumadi  juga merupakan   satu diantara beberapa guru ngaji saya di desa waktu kecil dulu.
Pada saat yang tidak begitu lama,sekitar beberapa hari kemudian setelah penebangan kayu saman berhasil dikerjakan bersama oleh warga setempat,beliau Bapak Ky Jumadi,seorang Kaum ( Kaur Kesra ) sekaligus seorang pemimpin umat yg sangat disegani mulai merasakan tidak enak badan atau sakit ringan, yang kemudian pada ahirnya merebah menjadi sakit berat sampai diberobatkan dimana-mana baik secara medis dan non medis di beberapa tempat rumahsakit maupun panti pengobatan alternatif,tapi sakitnya tidak kunjung sembuh pula,bahkan sempat di cek-up segala tidak diketemukan adanya gejala penyakit,hingga pada suatu ketika beliau bp Ky Jumadi  dengan masih menahan rasa sakitnya beliau menemui saya. 
Inti ceritanya demikian : 
Pada waktu itu tahun 2007 tepatnya pada 3 hari menjelang 1 ramadhan, belia Bp Kaum jumadi menemui saya untuk menyampaikan sebuah pesan yaitu memerintah saya mendatangi atau berziarah di tempat bekas kayu saman yang sudah ditebang buat pembangunan masjid.
Pada saat itu memang saya beserta teman-teman jamaah masjid yang baru itu berniat untuk melakukan ziarah bersama ke makam Mbah Ky Ahmad Saefandi ( ayah dari Bp Ky Jumadi ) yang tempat makamnya berada di sebelah timur tidak jauh dari bekas penebangan kayu saman tersebut.


 bersambung.......


Mengenal Sosok Syekh Maulana Nurul Duhur.

Sejarah Pemugaran Makam Syekh Maulana Nurul Duhur.


Kisah Perjuangan Syekh Maulana Nurul Duhur.


Wasiat,Benda Peninggalan serta Petilasan Syeh Maulana Nurul Duhur.

Legenda sejarah Mula-Buka (Awal-Mula) Desa Entak,Ambal,Kebumen,Jawa Tengah.
 



Jumat, 17 Juni 2016

Sejarah Desa Entak,Ambal,Kebumen

Pada Zaman Pemerintahan Ingkang Sinewun Kanjeng Gusti  Panembahan Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama Kalifatulah Tanah Jawa Raden Danang Sutawijaya ing Mataram dulunya wilayah Desa Entak ini bernama Bumi Rawa Jombor,merupakan sebuah Desa rawan banjir.
Petilasan Rawa Jombor

Pada setiap musim penghujan ( mangsa rendeng ) air melimpah ruah hingga masuk ke pemukiman penduduk.
Disaat musim kemarau ( mangsa katiga ) air bisa surut tapi tetap lahan persawahan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat pada saat itu tetap tergenangi air kecuali kalau musim ketiga atau kemarau panjang baru genangan airnya bisa surut. Dulu di Bumi Rawa Jombor tersebut singgah seorang pengembara muslim dari Banten bernama Nurul Duhur yang  ahirnya dikenal dengan Syekh Maulana Nurul Duhur.
Pada saat yang bersamaan Ingkang Sinewun ing Mataram Kanjeng Gusti Panembahan Senopati Ingalaga Sayidin Panata Gama Kalifatullah Tanah Jawa Raden Danang Sutawijaya,kala itu sedang berkehendak nitipraja milang kori dan pada suatu waktu Ingkang Sinewun Kanjeng Gusti Ing Mataram bersama beberapa prajurit pengawal pribadinya tiba di wilayah pesisir Urutsewu Kebumen tepat di bumi Rawa Jombor,dimana bumi Rawa Jombor itulah  Inkang Sinewun bertemu dengan seorang pengembara muslim dari Banten yang diketahui bernama Nurul Duhur yang kemudian setelah  beberapa waktu hingga kemudian diketahuilah bahwa seorang Nurul Duhur bukanlah orang biasa,melainkan seorang pengembara yang berilmu agama lebih hingga ahirnya tanpa berfikir panjang kemudian diangkatlah seorang Nurul Duhur menjadi seorang yang mulia yaitu menjadi Tokoh Ulama Kraton Mataram dengan mendapat gelar Syekh Maulana Nurul Duhur dan diberikan beberapa orang pendamping dari keluarga kraton yang dari beberapa pendamping,dua diantaranya adalah bernama Raden Lintang Kemukus dan Raden Kentaka,kemudian mendapat amanat untuk bermukim di desa Rawa Jombor dengan misi utamanya adalah untuk memasukan suatu ajaran suci kepada masyarakat Rawa Jombor dan sekitarnya melalui konsep  syareat Islam yang diketahui pula oleh Ingkang Sinewun Ing Mataram bahwa Desa Rawa Jombor merupakan Pusat pengembangan Agama Hindu maupun Buda terbesar di Pesisir Selatan  Kebumen.
Disi lain diketahui bahwa di Wilayah Pesisir Urutsewu yaitu sekitar 100 Km arah barat kota Yogyakarta,tepatnya di lokasi Bedahan Kalen Gunungtugel,RT02/IV Desa Entak,Kecamatan Ambal,Kabupaten Kebumen,Jawa Tengah diketahui ada sebuah Makam Tua yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat yang kemudiansetelah dilakukan beberapa pengkajian penelitian oleh bebrapa ahli ahirnya makam Keramat tersebut adalah diketahui sebagai Makam Karomah seorang Waliyullah bernama Syekh Maulana Nurul Duhur atau Mbah Duhur,ada pula yang menyebutnya dengan Mbah Kalen Gunungtugel.
Pada saat itu keadaan masyarakat umum Urutsewu secara universal memang masih berpemahaman Hindu dan Buda, belum mengenal Islam sama sekali,sehingga ditanamlah seorang mulia Syekh Maulana Nurul Duhur,untuk membina umat masyarakat di desa Rawa Jombor dan sekitarnya yang ternyata riwayatnya bisa menjadi suri tauladan bagi para pejuang-pejuang pada generasi mendatang seperti sekarang ini.

Dari awal kedatanganya di Kampung Rawa Jombor Syekh Maulana Nurul Duhur disambut baik oleh masyarakat setempat termasuk I Gusti Gede yang menjadi kiblat panutan sekaligus pemimpin masyarakat Rawa Jombor pada saat itu.

Dengan sikap yang baik pula kemudian Syekh Maulana Nurul Duhur membaur bersama masyarakat,membantu/menolong masyarakat yang kecingkrangan,mengajari cara-cara bertani,beternak dan sebagainya sambil pelan-pelan dan penuh hati-hati dimasukannya secara sedikit demi sedikit pemahaman yang menuju pada keyakinan Islam yang rahmatalil'alamin,hingga tak terasa ahirnya banyak masyarakat yang menaruh simpatik dan tertarik menjadi pengikut Islam bersama Syekh Maulana Nurur Duhur atau sebut saja "Mbah Duhur".


Hingga suatu ketika,I Gusti Gede mengetahui bahwa Mbah Duhur mengajarkan ajaran agama asing yang menurut I Gusti Gede merusak tatanan dan keyakinan hindu-buda yang selama ini sudah menjadi keyakinanya sejak turun temurun.


Hingga kemudian I Gusti Gede merasa resah dan marah terhadap Mbah Duhur yang dianggap sudah mengancam kelestarian paham Hiindu - Buda yang sudah dianutnya sejak lama hingga kemudian pada suatu malam I Gusti Gede pergi mendatangi Mbah Duhur dengan tujuan untuk mengusir atau meminta kepada Mbah Duhur untuk pergi meninggalkan kampung Rawa Jombor secepatnya,tapi dengan lemah lembut penuh sopan dan santun Mbah Duhur menolaknya dan bersikukuh untuk tetap tinggal di Kampung Rawa Jombor dengan pertimbangan karena membawa  amanah Raja dan menghawatirkan nasib masyarakat Rawa Jombor kedepan yang masih sangat lemah keimananya,karena memang semakin lama semakin banyak pula masyarakat Rawa Jombor yang simpatik kepada Mbah Duhur dan berlanjut dengan mengikuti Jalanya dan hingga ahirnya I Gusti Gede mengijinkan pula untuk Mbah Duhur tetap tinggal di Kampung Rawa Jombor tapi dengan satu syarat : Harus bisa mupu sayembaranya atau memenui permintaan I Gusti Gede yaitu Hurus bisa Membuatkan Kali ( sungai ) yang airnya bisa mengalir dari Kampung Rawa Jombor sampai dengan segara kidul ( Laut Selatan / Samudera Hindia ) pada malam itu pula dan waktunya jangan sampai lewat wayah Jago Kluruk (waktu fajar) Kali ( sungai ) harus sudah Jadi,itulah sayembaranya I Gusti Gede untuk Mbah Duhur.


I Gusti Gede memberikan sayembara itu bukan tanpa perhitungan,ya tentunya dengan Sayembara tersebut Mbah Duhur tidak akan kuasa atau tidak akan sanggup melaksanakanya dan ahirnya berhenti berda'wah Islam kepada masyarakat ataupun pergi untuk selamanya dari Kampung Rawa Jombor,tapi ternyata Allah SWT berkehendak lain dan benar-benar berkuasa diatas segala-galanya serta memberikan pertolongan kepada siapapun yang dikehendakiNya sehingga yang terjadi adalah malah sebaliknya,Mbah Duhur menerima dan menyanggupi sayembara tersebut sebagai tantangan yang harus di hadapi demi Amanah Mulia yang diembanya.


Dan benar setelah itu Mbah Duhur meminta kepada I Gusti Gede untuk pulang dan Mbah Duhur mau mengerjakan apa yang menjadi sayembaranya I Gusti Gede tersebut. Pada tengah malam itu pula diperkirakan suasananya sudah sunyi,orang-orang sudah terlelap tidur,Mbah Duhur pergi ke tempat yang amat sunyi dan sepj dari keramaian orang yaitu di puncak bukit Gunung Gede,sebuah pegununhan ( dataran tinggi ) yang sunyi,sepi dan jarang atau hampir tidak ada orang umum pada waktu itu yang berani menjamah atau melewati tempat tersebut.


Tempat ini berada di selatan tempat pemukiman penduduk bumi Rawa Jombor,yang sekarang bernama Bedahan Kalen Gunungtugel yang menjadi tempat Makam Syeh Maulana Nurul Duhur ( Mbah Duhur ).


Ditempat itulah Mbah Duhur memilihnya sebagai tempat untuk bermunajat mohon pertolongan dan kekuatan kepada Allah SWT untuk sebuah hajat besar yaitu untuk mupu / bisa memenuhi Sayembaranya I Gusti Gede yaitu membuat Kali atau Sungai yang airnya bisa mengalir dari Kampung Rawa Jombor hingga segara kidul ( Laut selatan Pulau Jawa ) di waktu malam itu juga.


Ternyata Semangat dan Usaha Mbah Duhur tidak sia-sia,Allah SWT mengabulkan Do'a Munajat Syeh Maulana Nurul Duhur ( Mbah Duhur ) dan di saat itu Karomatul Aulia ( sifat Kewalian Mbah Duhur di Perlihatkan oleh Alloh ) untuk manusia pada saat itu.


Tanpa waktu panjang Alloh langsung memberikan pertolonganNya,menurunkan Bala Tentara sewu dari Kidul ( selatan ) untuk membantu Mbah Duhur dalam mengerjakan amanahnya membuat Kali atau sungai yang membelah Gunung Gede tempat Mbah Duhur Bermunajat.


Tanpa diketahui oleh Bangsa manusia ahirnya pada suasana malam yang sepi itu semua bala tentara bekerja dan semua tunduk oleh komando Mbah Duhur dan Ahirnya atas izin Allah SWT,Kali (sungai) dari Kampung Rawa Jombor sampai dengan Gunung Gede yang membujur sepanjang kira kira 750 m dengan luas sekitar 10 meter sudah berhasil di dibuat tapi,kali yang terjadi sepanjang itu baru setengah perjalanan belum sampai laut alias belum sempurna sesuai dengan harapan I Gusti Gede karena rupanya pekerjaan Mbah Duhur dalam proses pembuatan Kalinya itu sudah diketahui oleh I Gusti Gede sebelum proses pembuatanya selesai,yang kemudian I Gusti Gede bergegas membangunkan semua masyarakat dan memerintahkan untuk membunyikan lesung atau memukul apasaja yang menghasilkan bunyian yang menggaduhkan sehingga terasa rami kemudian masyarakat dperintah membakar rerumputan yang kering-kering yang apinya menyala hingga langit tampak kemerah merahan  seperti waktu fajar sampai ayampun kaget dan saling berkokok,kemudian yang ayam jantanya kukuluruk seolah olah menandakan sudah masuk fajar padahal sebenarnya masih sekitar jam 3 pagi ( kalau waktu itu bisa diketahui seperti sekarang ) kemudian I Gusti Gede menghampiri Mbah Duhur yang sudah bangun dari munajatnya karena mendengar ada jago kluruk,aktifitas masyarakat dan meliat langit tampak sudah merah,tapi ternyata itu semua hanyalah tipu muslihat dari I Gusti Gede agar Mbah Duhur Gagal,tidak meneruskan membuat kali ( sungai ) yang sudah sampai setengah perjalanan atau baru setengah jadi,belum sempurna karena menurut I Gusti Gede sempurnanya harus sampai laut,dan ini jadi kali baru sampai Gunung Gede.


Karena kamenungsan ( diketahui orang ) menjadikan pudarnya konsentrasi Munajatnya Mbah Duhur, sehingga sungai yang di buat tersebut tidak sempurna atau baru setengah jadi dan akan sempurna sampai ke laut sebenarnya ketika Munajatnya Mbah Duhur tidak terganggu ataupun tidak ketahuan oleh orang.


Melihat pekerjaan Mbah Duhur yang oleh I Gusti Gede dianggap tidak sempurna maka kemudian I Gusti Gede pun marah besar hingga mengeluarkan kata-kata yang bernada kasar yang Ngentak-Ngentak ( membentak-bentak ) seperti dibawah ini :


"Lunga....! Lunga......!  Ayo lunga seka papan kene,sliramu ki wis batal ora bisa mupu sayembaraku,mula cepet lunga seka bumi Rawa Jombor kene".



Artinya:
"Pergi......! Hayo pergi dari Kampung ini,kamu itu sudah gagal dalam sayembaraku,maka sekarang harus pergi dari bumi Rawa Jombor ini".

Mhah duhur mendengar I Gusti Gede marah marah,dirinya tertunduk diam dan sabar menahan dirinya sampai ahirnya setelah I Gusti Gede berhenti dari marah-marahnya kemudian Simbah Duhur berganti bicara.


"He.......,I Gusti Gede,aku di anggep wis batal anggonku mupu sayembaramu aku trima,nanging anggonmu muni-muni sarana ngentak-ngentak iku mau ndadekake lara ana ing atiku,mulane Kanggo Pangeling-eling,yeng teka reja-rejaning jaman,ing papan kene klebu Rawa Jombor sakiwa tengene besuk bakal dadi Desa kang diarani NGENTAK (Entak)


Artinya :

"Hai....I Gusti Gede,saya dianggap gagal saya ini mau,tapi dari kata-kata kamu yang kasar dengan membentak bentak ( Ngentak-Ngentak )  itu tadi membuat sakit dihati saya,maka untuk dingat bahwa,besok ada kemakmuranya waktu di tempat ini termasuk Rawa Jombor dan sekitarnya akan di sebut  Desa Ngentak ( Entak ).

Dan ahirnya benar bahwa ditempat tersebut sampai sekarag namanya Desa Entak ( orang tua dulu memang menyebutnya NGENTAK kemudian sesuai dengan perubahan jaman dan untuk memudahkan ucapan ahirnya secara administrasi disebut dengan ENTAK ) sampai sekarang menjadi Desa Entak,masuk wilayah Kecamatan Ambal,Kabupaten Kebumen,Jawa Tengah ( dulu masuk wilayah Mataram )


"Lan Seksenana maneh he.... I Gusti Gede,dadine kali iki marga mbedah Gunung kang Gede,mulane kanggo pangeling-eling besuk ana reja-rejaneng jaman papan kene diarani Bedahan Gunung Gede ( sekarang disebut Kalen Gunungtugel )


Artinya:

"Dan  lagi hai..... I Gusti Gede,kejadian kali ( sungai ) ini karena membelah ( mbedah ) Gunung Gede,maka untuk diingat bahwa ada kemakmuranya waktu tempat ini di sebut Bedahan Gunung Gede ( sekarang disebut Kalen Gunungtugel ).

Dan tempat tersebut memang sampai sekarang masih ada dan tetap bernama "Bedahan sering disebut Kalen Gunungtugel".
Petilasan Bedahan Gunung Gede
Petilasan Bedahan Gunung Gede ( Kalen Gunungtugel )
Itulah peninggalan Mbah Duhur yang hingga saat ini masih sangat bermanfaat bagi masyarakat Desa Entak dan sekitarnya untuk mengalirkan genangan air akibat hujan yang biasa membanjiri daerah terbisan Desa Entak ( Rawa Jombor ) dan bagi masyarakat terdahulu airnya mengandung berkah dan bermanfaat sebagai sumber kehidupan dan bisa untuk sarana mengobati berbagai penyakit Pada zaman dulu.

Kali atau sungai ini berada persis di samping bawah sebelah timur makam Syekh Maulana Nurul Duhur ( Mbah Duhur ).


"Lan maneh I Gusti Gede,aku wis netepi apa kang dadi sayembaramu,sliramu ngersaake supaya insun yasa kali perlu kanggo ngiliake banyu kang saka Rawa Jombor nganti segara kidul,rumangsamu kali iki urung dadi,tegese ingsun mbok anggep gagal nanging titenono,titenono senajan kali iki urung sampurna nanging kali iki tetep bakal migunani tumrap ing masyarakat Rawa Jombor sakiwa tengene,mula titenana,tunggunen nganti setahun,kapan ana mangsa rendeng mangka Desa Rawa Jombor ora bakal kebanjiran maneh.


Artinya:

"Dan lagi I Gusti Gede,saya sudah melakukan apa yang menjadi sayembaramu,kamu meminta agar saya membuatkan Kali ( sungai ) untuk mengalirkan air yang dari Rawa Jombor ke laut selatan,menurutmu sungai ini belum jadi,maksudnya saya kamu anggap gagal membuat sungai,tapi perhatikanlah,perhatikanlah bahwa walaupun  sungai ini belum semperna tapi sungai ini tetap akan bermanfaat/berguna bagi masyarakat Rawa Jombor dan sekitarnya,maka perhatikan,tunggu sampai setahun kedepan,jika sampai musim penghujan maka Desa Rawa Jombor tidak akan kebanjiran lagi"

"Lan aku nyuwan marang panjenenganmu supaya aku tetep mapan ana papan kene nganti sesuk ahir riwayatku supaya tetep mapan ana ing panggonan iki".


Artinya:

"Dan saya minta kepada kamu agar saya tetap berada di kampung ini sampai ahir hayatku agar tetap bertempat di daerah ini".

Singkat cerita dari banyak-banyak pesan yang di sampaikan oleh Simbah Duhur waktu itu ahirnya Sang Pendeta I Gusti Gede berkenan menunggu dan memberikan waktu kepada Simbah Duhur untuk membuktikan ucapanya tadi dan ternyata benar,mangsa rendeng ( musim penghujan kembali datang ) seperti biasanya yang terjadi pada mangsa rendeng yaitu banyak hujan dan dihawatirkan membanjiri lagi kampung Rawa Jombor seperti biasanya,akan tetapi pata musim penghujan kali ini Kampung Rawa Jombor yang tadinya kebanjiran sekarang sudah tidak lagi dan terlihat air yang seharusnya membuat banji Kampung Rawa Jombor sekarang sudah bisa mengalir ke selatan melalui sungai kecil yang membelah gunung gede atau yang disebut dengan Kalen Gunungtugel hasil buatan dari Simbah Duhur,yang secara tidak langsung ahirnya air dari kampung Rawa Jombor pun sampai ke laut pula melalui sungai Lukulo yang ternyata tembus juga dengan Kalen Gunungtugel tegalan dalam yang bernama wudulan.


Melihat kenyataan yang ada dan benar benar kejadianya diluar logika manusia ahirnya I Gusti Gede pun percaya dan ahirnya secara spontan dan bersama-sama masyarakat Rawa Jombor,semua menyerahkan diri pasrah kepada Mbah Duhur untuk masuk Islam dengan mengucapkan kalimat tauhid Asyhadu alailaha illallah,wasyhadu anna Muhammadan Rasul Allah diatas kesadaranya masing-masing tanpa ada unsur paksaan dari pihak siapapun dan setia pada jalur kebenaran bersama Waliyullah Syekh Maulana Nurul Duhur Sohibal Karomah.


Kemudian Pura, tempat ibadahnya I Gusti Gede bersama masyarakat Rawa Jombor kala itu kemudian diserahkan juga kepada Mbah Duhur untuk kemudian menjadi Mushola bernama SIGONG,hingga saat ini pun nama SIGONG masih tetap abadi di Masyarakat dan keadaanya sudah rata menjadi tanah gumuk yang keramat dan berada sekitar 150 meter ke arah Utara dari makam Mbah Duhur.


Demikian sekilas kisah Sejarah Asal Muasal Desa Entak,Ambal,Kebumen,Jawa Tengah,Indonesia yang erat kaitanya degan kisah perjuanganya seorang Waliyullah Syekh Maulana Nurul Duhur ( Mbah Duhur ) yang mampu menjadi inspirasi,edukasi serta teladan bagi generasi mendatang.


Demikian
Wallahu a'lam bishawab
Terima kasih.

Mengenal Sosok Syekh Maulana Nurul Duhur.

Sejarah Pemugaran Makam Syekh Maulana Nurul Duhur.

Kisah Perjuangan Syekh Maulana Nurul Duhur.

Wasiat,Benda Peninggalan serta Petilasan Syeh Maulana Nurul Duhur.

Sejarah Mula-Buka (Awal-Mula) Desa Entak,Ambal,Kebumen,Jawa Tengah






Peninggalan Mbah Duhur

Berikut ini adalah Peninggalan Syekh Maulana Nurul Duhur ( Mbah Duhur ) yang bisa di kunjungi dan bisa disaksikan langsung oleh umum diantaranya adalah :

1.Bedahan Gunug Gede



Adalah sebuah sungai buatan Mbah Duhur yang membelah sebuah gunung hingga menjadi dua bagian gunung yang kemudian belahan Gumung itu disebut Bedahan Kalen Gunungtugel dan
Petilasan Bedahan Gunug Gede (Kalen Gunungtugel)
sekaligus sungainya tersebut pun terkenal dengan Kali atau Kalen Gunugtugel,sungai ini membujur di samping/sebelah timur Makam Syeh Maulana Nurul Duhur.

Sungai ini tampak kering di saat musim kemarau dan akan berair atau dialiri air pada saat daerah Desa yang berada sebelah utara tempat makam Mbah Duhur mengalami kebanjiran,yang jaman dulu namanya Rawa Jombor .




2.Sigong

Kemudian Pura, tempat ibadahnya I Gusti Gede bersama masyarakat Rawa Jombor kala itu kemudian diserahkan juga kepada Mbah Duhur untuk kemudian menjadi
Petilasan Sigong
Mushola bernama SIGONG,hingga saat ini pun nama SIGONG masih tetap abadi di Masyarakat dan keadaanya sudah rata menjadi tanah gumuk segi empat berukuran 9 X 9 m ( yang bergombol ) yang keramat dan berada sekitar 100 meter ke arah Utara dari makam Mbah Duhur,










3.Guci Mustika Sulaiman.
Guci MustikaGuci Mustika Sulaiman ini adalah merupakan salah satu dari benda Mustika peninggalan Mbah Duhur yang keadaanya masih terawat oleh seseorang ( Privasinya sudah ada pada Narasumber )
Mustika Sulaiman

Menurut informasi yang didapat bahwa Guci Mustika Sulaiman adalah warisan Mbah Duhur untuk wasiat atau pegangan bagi para penguasa pemerintahan atau bupati pada zaman dulu.







 







 4.Kantil Sutra Wesi Kuning.
Ini juga Pusaka wasiat Syekh Maulana Nurul
Kantil Sutra Wesi Kuning
Duhur yang menjadi pegangan bagi  para pemimpin / bupati terdahulu.
Kantil Sutra Wesi Kuning ini terdiri dari dua unsur yaitu serat sutra berwarna kuning emas dan logam Kuningan murni berbentuk seperti jarum berwarna kuning emas dan saat ini sudah di simpan oleh seseorang (Privasinya ada pada Narasumber)













5.Keris Tunggul Wulung.
Keris tunggul Wulung adalah senjata
Keris Pusaka Tunggul Wulung
pusakanya Mbah Duhur yang masih ada dan
masih dilestarikan dan disimpan oleh seseorang ( Privasinya sudah ada pada Narasumber )










6.Wasiat Do'a Lekas.
Amalan ini diijazahkan langsung oleh Mbah duhur pada malam Jumat wage ( Agustus 2016. ) untuk masyarakat yang keadaanya
Wasiat Do'a Sulaiman
sedang genting,panik luar biasa waktu itu,walhasil masyarakat bisa mencapai sesuatu yang diharapkan setelah melalui mujahadah dan bermunajat dengan Amalan Do'a Lekas tersebut. ( Privasinya sudah ada pada Narasumber )




 

Selasa, 07 Juni 2016

Kisah Mbah Duhur

Berangkat dari wilayah Banten menuju Madura untuk sebuah misi perjuangan likalimatilah laailahaillallah Muhammadurasullullah melalui dakwah Islam yang lembut dengan konsep amarma'ruf nahi munkar dengan caranya yang halus,aris dan berwibawa serta selalu  berhati2 dalam melanjutkan perjuangan besar sang wali sanga yang sudah terdahulu,Syekh Maulana Nurul Duhur ( Mbah Duhur ) terus melangkah penuh semangat dan pantang menyerah , hingga pada suatu saat, sampailah mbah Duhur di wilayah yang pesisir selatan Kebumen yang masuk pada wilayah Jawa Tengah,sejak kala itu orang Syekh Maulana Nurul Duhur menghilangkan jejaknya karena sepanjang sejarahnya belum ada yang menceriterakan tentang sosok orang tersebut.
Kemudian dari nara sumber yang lain menyebutkan di wilayah Pesisir Urutsewu Kebumen kala itu ada seorang pensi'ar islam yang dikenal dengan Syekh Maulana Nurul Duhur yang bertemu dengan Ingkang Sinewun ing Mataram Kanjeng Gusti Prabu Panembahan Senopati Ingalaga Sayidin Panata Gama Kalifatullah Tanah Jawa Raden Danang Sutawijaya ,yang kala itu sedang dalam laku gelar nitipraja n pada saat sampai di wilayah pesisir Urutsewu Kebumen inilah bertemu dengan yang namanya Nurul Dhuhur,seorang pengembara muslim yang kemudian langsung diangkat menjadi Ulama Kraton Mataram dengan pendamping Raden Lintang Kemukus dan Raden Kentaka, kemudian mendapat amanat untuk penyebaran agama Islam di bumi Mataram hususnya di wilayah tempat bertemunya Mbah Duhur dengan Ingkang Sinewun mataram di sebuah Desa Pusat pengembangan Agama Hindu maupun Buda di Desa Rawa Jombor Pesisir Selatan  Kebumen dengan gelar Syekh Maulana Nurul Duhur.
Seperti sudah diketahui bahwa di Wilayah Urutsewu yaitu Wilayah Pesisir Selatan Kebumen,Jawa Tengah,sekitar 100 Km arah barat kota Yogyakarta,tepatnya di lokasi Bedahan Kalen Gunungtugel, Desa Entak,Kecamatan Ambal,Kabupaten Kebumen,Jawa Tengah diketahui ada sebuah Makam Tua yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat.
Dari beberapa informasi masyarakat setempat diketahui bahwa makam Keramat tersebut adalah makam seorang Waliyullah bernama Syekh Maulana Nurul Duhur atau Mbah Duhur,ada pula yang menyebutnya dengan Mbah Kalen Gunungtugel yang diyakini bahwa beliau inilah orang yg dimaksud sebagai seseorang yang dimaksud diatas

Begini Ceritanya :
Desa Entak Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen Jawa Tengah adalah menjadi sebuah Desa di wilayah pesisir selatan Kebumen yang nyaman,ayem,tentrem seperti sekarang ini dan sudah dikenal masyarakat secara luas karena desa Entak ini dulunya merupakan tempat persinggahan dan menjadi pusat penghimpun kekuatan pada jaman kerajaan mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo yang beliau ini pernah bersinggah atau menyanggrah dengan membangun sebuah pesanggrahan yang lengkap dengan mushola serta lumbung penyimpanan logistik mataram yang berada di daerah Gunung Gede desa Entak Kecamatan Ambal,Kabupaten Kebumen yang tempat itu dikenal oleh masyarakat dengan nama Petilasan Pesangrahan Agung Gunung Gede.
Pada masa sebelumnya yaitu pada masa kekuasaan Ingkang Sinewun Prabu Panembahan Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa Raden Danang Sutawijaya ing Mataram sudah menjadi tempat pemukiman masyarakat serta sebagai Pusat peradaban  Hindu dan Buda yang dipimpin oleh I Gusti Gede yang ahirnya bertekuk lutut berserah diri masuk Islam oleh Syekh Maulana Nurul Duhur atau Mbah Duhur.
Pada masa kejayaan I Gusti Gede sebagai pemimpin masyarakat pada waktu itu,Desa Entak yang sekarang kita kenal ini dulunya bernama Desa Rawa Jombor.
Disebut demikian karena memang Desa Rawa Jombor merupakan sebuah desa atau pemukiman yang rawan banjir hingga menggenangi rumah-rumah penduduk pada saat musim penghujan ( mangsa rendeng ) dan disaat musim kemaraupun ( mangsa katiga ) airnya tetap Kembung,dan tidak mudah surut,tetap menggenangi lahan persawahan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat pada saat itu kecuali kalau musim ketiga atau kemarau panjang baru airnya bisa agak surut.

Seperti sudah disebut didepan bahwa I Gusti Gede adalah seorang Pendeta Hindu yang menjadi panutan sekaligus pemimpin masyarakat di Desa Rawa Jombor kala itu.
ADi Desa Rawa Jombor,keberadaan Syekh Maulana Nurul Duhur adalah pendatang atau orang asing yang yang masuk atau singgah hingga ahirnya bermukim di Desa Rawa Jombor tersebut.
Maksud dan tujuan daripada Syekh Maulana Nurul Duhur bermukim di Desa Rawa Jombor tidak lain ya karena mendapat amanah langsung dari Ingkang Sinewun Kanjeng Gusti Panembahan Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa Raden Danang Sutawijaya,Raja Mataram ke-1 untuk mengajarkan perilaku kebaikan dan keutamaan  kepada masyarakat Rawa Jombor dan sekitarnya khususnya di wilayah pesisir Urutsewu ( Wilayah Pesisir Selatan Jawa Tengah ) melalui konsep yang sesuai dengan syariat islam ( dakwah ) meneruskan perjuangan sang Walisongo yang fokus da'wahnya di pantai Utara,sedangkan Wilayah Pantai selatan masih belum tersentuh secara khusus,sehingga menjadi fokus Ulama generasi berikutnya yang kemudian dilaksanakan oleh Ingkang Sinewun Kanjeng Gusti Panembahan Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa yang terkenal dengan Danang Sutowijoyo sebagai Raja Islam Daulat ke 1 di Bumi Mataram.
Pada saat itu keadaan masyarakat Urutsewu hususnya di bumi Rawa Jombor secara universal masih berpemahaman Hindu dan Buda,belum mengenal Islam sama sekali.
Bumi Rawa Jombor juga hingga kemudian menjadi tempat persinggahan dan pusat pembinaan syareat Islam oleh Syekh Maulana Nurul Duhur yang merupakan seorang Waliyullah yang seharusnya menjadi inspirasi keteladanan bagi para pejuang-pejuang Islam bagi generasi mendatang seperti sekarang ini

Dari awal kedatanganya di bumi Rawa Jombor, Syekh Maulana Nurul Duhur disambut baik oleh masyarakat setempat termasuk oleh I Gusti Gede yang menjadi kiblat panutan sekaligus pemimpin masyarakat di bumi Rawa Jombor pada saat itu.


Dengan sikap yang baik pula kemudian Syekh Maulana Nurul Duhur membaur bersama masyarakat,membantu/menolong masyarakat yang kecingkrangan,mengajari cara-cara bertani,beternak dan sebagainya sambil pelan-pelan dan penuh hati-hati dimasukannya secara sedikit demi sedikit pemahaman yang menuju pada keyakinan Islam yang rahmatalil'alamin,hingga tak terasa ahirnya banyak masyarakat yang menaruh simpatik dan tertarik menjadi pengikut Islam bersama Syekh Maulana Nurur Duhur atau sebut saja "Mbah Duhur".


Hingga suatu ketika,I Gusti Gede mengetahui bahwa Mbah Duhur mengajarkan ajaran agama asing yang menurut I Gusti Gede merusak tatanan dan keyakinan hindu-buda yang selama ini sudah menjadi keyakinanya sejak turun temurun.

Hingga kemudian I Gusti Gede merasa resah dan marah terhadap Mbah Duhur yang dianggap sudah mengancam kelestarian paham Hiindu - Buda yang sudah dianutnya sejak lama hingga kemudian pada suatu malam I Gusti Gede pergi mendatangi Mbah Duhur dengan tujuan untuk mengusir atau meminta kepada Mbah Duhur untuk pergi meninggalkan kampung Rawa Jombor secepatnya,tapi dengan lemah lembut penuh sopan dan santun Mbah Duhur menolaknya dan bersikukuh untuk tetap tinggal di Kampung Rawa Jombor dengan pertimbangan karena membawa  amanah Raja dan menghawatirkan nasib masyarakat Rawa Jombor kedepan yang masih sangat lemah keimananya,karena memang semakin lama semakin banyak pula masyarakat Rawa Jombor yang simpatik kepada Mbah Duhur dan berlanjut dengan mengikuti Jalanya dan hingga ahirnya I Gusti Gede mengijinkan pula untuk Mbah Duhur tetap tinggal di Kampung Rawa Jombor tapi dengan satu syarat : Harus bisa mupu sayembaranya atau memenui permintaan I Gusti Gede yaitu Hurus bisa Membuatkan Kali ( sungai ) yang airnya bisa mengalir dari Kampung Rawa Jombor sampai dengan segara kidul ( Laut Selatan / Samudera Hindia ) pada waktu malam itu pula dan jangan sampai lewat wayah Jago Kluruk (waktu fajar) Kali ( sungai ) harus sudah Jadi,itulah sayembaranya I Gusti Gede untuk Mbah Duhur.

I Gusti Gede memberikan sayembara itu bukan tanpa perhitungan,ya tentunya dengan Sayembara tersebut Mbah Duhur tidak akan kuasa atau tidak akan sanggup melaksanakanya dan ahirnya berhenti berda'wah Islam kepada masyarakat ataupun pergi untuk selamanya dari Kampung Rawa Jombor,tapi ternyata Allah SWT berkehendak lain dan benar-benar berkuasa diatas segala-galanya serta memberikan pertolongan kepada siapapun yang dikehendakiNya sehingga yang terjadi adalah malah sebaliknya,Mbah Duhur menerima dan menyanggupi sayembara tersebut sebagai tantangan yang harus di hadapi demi Amanah Mulia yang diembanya.

Dan benar setelah itu Mbah Duhur meminta kepada I Gusti Gede untuk pulang dan Mbah Duhur mau mengerjakan apa yang menjadi sayembaranya I Gusti Gede tersebut. Pada tengah malam itu pula diperkirakan suasananya sudah sunyi,orang-orang sudah terlelap tidur,Mbah Duhur pergi ke tempat yang amat sunyi dan sepj dari keramaian orang yaitu di puncak bukit Gunung Gede,sebuah tempat perbukitan yang sunyi,sepi dan jarang atau hampir tidak ada orang biasa yang berani menjamah atau melewatinya.

Tempat ini berada di selatan Kampung Rawa Jombor,yang sekarang bernama Kalen Gunungtugel yang menjadi tempat Makam Syeh Maulana Nurul Duhur ( Mbah Duhur )
Ditempat itulah Mbah Duhur memilihnya sebagai tempat untuk bermunajat mohon pertolongan dan kekuatan kepada Allah SWT untuk sebuah hajat besar yaitu untuk  mupu / bisa memenuhi Sayembaranya I Gusti Gede yaitu membuat Kali atau Sungai yang airnya bisa mengalir dari Kampung Rawa Jombor hingga segara kidul ( Laut selatan Pulau Jawa ) di waktu malam itu juga.

Ternyata Semangat dan Usaha Mbah Duhur tidak sia-sia,Allah SWT mengabulkan Do'a Munajat Syeh Maulana Nurul Duhur ( Mbah Duhur ) dan di saat itu Karomatul Aulia ( sifat Kewalian Mbah Duhur di Perlihatkan oleh Alloh ) untuk manusia pada saat itu.


Tanpa waktu panjang Alloh langsung memberikan pertolonganNya,menurunkan Bala Tentara sewu dari Kidul ( selatan ) untuk membantu Mbah Duhur dalam mengerjakan amanahnya membuat Kali atau sungai yang membelah Gunung Gede tempat Mbah Duhur Bermunajat.

Tanpa diketahui oleh Bangsa manusia ahirnya pada suasana malam yang sepi itu semua bala tentara bekerja dan semua tunduk oleh komando Mbah Duhur dan Ahirnya atas izin Allah SWT,Kali (sungai) dari Kampung Rawa Jombor sampai dengan Gunung Gede yang membujur sepanjang kira kira 750 m dengan luas sekitar 10 meter sudah berhasil di dibuat tapi,kali yang terjadi sepanjang itu baru setengah perjalanan belum sampai laut alias belum sempurna sesuai dengan harapan I Gusti Gede karena rupanya pekerjaan Mbah Duhur dalam proses pembuatan Kalinya itu sudah diketahui oleh I Gusti Gede sebelum proses pembuatanya selesai,

Yang kemudian I Gusti Gede bergegas membangunkan semua masyarakat dan memerintahkan untuk membunyikan lesung atau memukul apasaja yang menghasilkan bunyian yang menggaduhkan sehingga terasa rami kemudian masyarakat dperintah membakar rerumputan yang kering-kering yang apinya menyala hingga langit tampak kemerah merahan  seperti waktu fajar sampai ayampun kaget dan saling berkokok,kemudian yang ayam jantanya kukuluruk seolah olah menandakan sudah masuk fajar padahal sebenarnya masih sekitar jam 3 pagi ( kalau waktu itu bisa diketahui seperti sekarang ) kemudian I Gusti Gede menghampiri Mbah Duhur yang sudah bangun dari munajatnya karena mendengar ada jago kluruk,aktifitas masyarakat dan meliat langit tampak sudah merah,tapi ternyata itu semua hanyalah tipu muslihat dari I Gusti Gede agar Mbah Duhur Gagal,tidak meneruskan membuat kali ( sungai ) yang sudah sampai setengah perjalanan atau baru setengah jadi,belum sempurna karena menurut I Gusti Gede sempurnanya harus sampai laut,dan ini jadi kali baru sampai Gunung Gede.

Karena kamenungsan ( diketahui orang ) menjadikan pudarnya konsentrasi Munajatnya Mbah Duhur, sehingga sungai yang di buat tersebut tidak sempurna atau baru setengah jadi dan akan sempurna sampai ke laut sebenarnya ketika Munajatnya Mbah Duhur tidak terganggu ataupun tidak ketahuan oleh orang.

Melihat pekerjaan Mbah Duhur yang oleh I Gusti Gede dianggap tidak sempurna maka kemudian I Gusti Gede pun marah besar hingga mengeluarkan kata-kata yang bernada kasar yang Ngentak-Ngentak ( membentak-bentak ) seperti dibawah ini :

"Lunga....! Lunga......!  Ayo lunga seka papan kene,sliramu ki wis batal ora bisa mupu sayembaraku,mula cepet lunga seka Desa Rawa Jombor kene".


Artinya:

"Pergi......! Hayo pergi dari Kampung ini,kamu itu sudah gagal dalam sayembaraku,maka sekarang harus pergi dari Kampung Rawa Jombor ini".


Mhah duhur mendengar I Gusti Gede marah marah,dirinya tertunduk diam dan sabar menahan dirinya sampai ahirnya setelah I Gusti Gede berhenti dari marah-marahnya kemudian Simbah Duhur berganti bicara.

"He.......,I Gusti Gede,aku di anggep wis batal anggonku mupu sayembaramu aku trima,nanging anggonmu muni-muni sarana ngentak-ngentak iku mau ndadekake lara ana ing atiku,mulane Kanggo Pangeling-eling,yeng teka reja-rejaning jaman,ing papan kene klebu Rawa Jombor sakiwa tengene besuk bakal dadi Desa kang diarani NGENTAK (Entak)


Artinya :

"Hai....I Gusti Gede,saya dianggap gagal saya ini mau,tapi dari kata-kata kamu yang kasar dengan membentak bentak ( Ngentak-Ngentak )  itu tadi  membuat sakit dihati saya,maka untuk dingat bahwa,besok ada kemakmuranya waktu di tempat ini termasuk Rawa Jombor dan sekitarnya akan di sebut  Desa Ngentak ( Entak ).


Dan ahirnya benar bahwa ditempat tersebut sampai sekarag namanya Desa Entak ( orang tua dulu memang menyebutnya NGENTAK kemudian sesuai dengan perubahan jaman dan untuk memudahkan ucapan ahirnya secara administrasi disebut dengan ENTAK ) sampai sekarang menjadi Desa Entak,masuk wilayah Kecamatan Ambal,Kabupaten Kebumen,Jawa Tengah ( dulu masuk wilayah Mataram )

"Lan Seksenana maneh he.... I Gusti Gede,dadine kali iki marga mbedah Gunung Gede,
mulane kanggo pangeling-eling besuk ana reja-rejaneng jaman papan kene diarani Bedahan utawa Kalen Gunungtugel.

Artinya:

"Dan  lagi hai..... I Gusti Gede,kejadian kali ( sungai ) ini karena membelah ( mbedah )
Gunung Gede,maka unyuk diingat bahwa ada kemakmuranya waktu tempat ini di sebut Bedahan atau Kalen Gunungtugel.


Dan tempat tersebut memang sampai sekarang masih ada dan tetap bernama  Kali atau Sungai "Bedahan atau Kalen Gunungtugel".

Itulah peninggalan Mbah Duhur yang bagi masyarakat terdahulu airnya mengandung berkah dan bermanfaat sebagai sumber kehidupan dan untuk sarana mengobati berbagai penyakit.

Kali atau sungai ini berada persis di samping bawah sebelah timur makam Syekh Maulana Nurul Duhur ( Mbah Duhur ).

"Lan maneh I Gusti Gede,aku wis netepi apa kang dadi sayembaramu,sliramu ngersaake supaya insun yasa kali perlu kanggo ngiliake banyu kang saka Rawa Jombor nganti segara kidul,rumangsamu kali iki urung dadi,tegese ingsun mbok anggep gagal nanging titenono,titenono senajan kali iki urung sampurna nanging kali iki tetep bakal migunani tumrap ing masyarakat Rawa Jombor sakiwa tengene,mula titenana,tunggunen nganti setahun,kapan ana mangsa rendeng mangka Desa Rawa Jombor ora bakal kebanjiran maneh.

Artinya:


"Dan lagi I Gusti Gede,saya sudah melakukan apa yang menjadi sayembaramu,kamu meminta agar saya membuatkan Kali ( sungai ) untuk mengalirkan air yang dari Rawa Jombor ke laut selatan,menurutmu sungai ini belum jadi,maksudnya saya kamu anggap gagal membuat sungai,tapi perhatikanlah,perhatikanlah bahwa walaupun  sungai ini belum semperna tapi sungai ini tetap akan bermanfaat/berguna bagi masyarakat Rawa Jombor dan sekitarnya,maka perhatikan,tunggu sampai setahun kedepan,jika sampai musim penghujan maka Desa Rawa Jombor tidak akan kebanjiran lagi"


"Lan aku nyuwan marang panjenenganmu supaya aku tetep mapan ana papan kene nganti sesuk ahir riwayatku supaya tetep mapan ana ing panggonan iki".


Artinya:


"Dan saya minta kepada kamu agar saya tetap berada di kampung ini sampai ahir hayatku agar tetap bertempat di daerah ini".


Singkat cerita dari banyak-banyak pesan yang di sampaikan oleh Simbah Duhur waktu itu ahirnya Sang Pendeta I Gusti Gede berkenan menunggu dan memberikan waktu kepada Simbah Duhur untuk membuktikan ucapanya tadi dan ternyata benar,mangsa rendeng ( musim penghujan kembali datang ) seperti biasanya yang terjadi pada mangsa rendeng yaitu banyak hujan dan dihawatirkan membanjiri lagi kampung Rawa Jombor seperti biasanya,akan tetapi pata musim penghujan kali ini Kampung Rawa Jombor yang tadinya kebanjiran sekarang sudah tidak lagi dan terlihat air yang seharusnya membuat banji Kampung Rawa Jombor sekarang sudah bisa mengalir ke selatan melalui sungai kecil yang membelah gunung gede atau yang disebut dengan Kalen Gunungtugel hasil buatan dari Simbah Duhur,yang secara tidak langsung ahirnya air dari kampung Rawa Jombor pun sampai ke laut pula melalui sungai Lukulo yang ternyata tembus juga dengan Kalen Gunungtugel tegalan dalam yang bernama wudulan.


Melihat kenyataan yang ada dan benar benar kejadianya diluar logika manusia ahirnya I Gusti Gede pun percaya dan ahirnya secara spontan dan bersama-sama masyarakat Rawa Jombor,semua menyerahkan diri pasrah kepada Mbah Duhur untuk masuk Islam dengan mengucapkan kalimat tauhid Asyhadu alailaha illallah,wasyhadu anna Muhammadan Rasul Allah diatas
 kesadaranya masing-masing tanpa ada unsur paksaan dari pihak siapapun dan setia pada jalur kebenaran bersama Waliyullah Syekh Maulana Nurul Duhur Sohibal Karomah.

Kemudian Pura, tempat ibadahnya I Gusti Gede bersama masyarakat Rawa Jombor kala itu kemudian diserahkan juga kepada Mbah Duhur untuk kemudian menjadi Mushola bernama SIGONG,hingga saat ini pun nama SIGONG masih tetap abadi di Masyarakat dan keadaanya sudah rata menjadi tanah gumuk yang keramat dan berada sekitar 100 meter ke arah Utara dari makam Mbah Duhur.


Demikianla sekilas cerita perjuangan seorang Waliyullah Syekh Maulana Nurul Duhur yang mampu menjadi inspirasi,edukasi serta teladan bagi generasi mendatang.